MERAIH SUKSES DENGAN MENJADI TRANSMIGRAN


JAKARTA, (PRLM).- Mencuatnya kasus dugaan suap pada program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) yang kini tengah disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepatutnya jangan sampai menyebabkan pembangunan transmigrasi tersudut. Karena, dari transmigrasi ini telah banyak dilahirkan jutawan baru dan orang-orang sukses tanpa harus melakukan korupsi.
Seperti Owo Suyanto (59), asal Desa Sukasari, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menjadi jutawan berkat kerja keras dan ketekunannya menjadi transmigran di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Bokat VII, Kecamatan Tiloan, Kabuaten Buol, Sulawesi Tengah.
Meski hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), pria kelahiran 10 Oktober 1952 ini berhasil memetik hasil jerih payahnya secara optimal dari lahan yang diusahakan. Ia kini memiliki penghasilan total Rp 263,4 juta per tahun atau sekitar Rp 21,9 juta per bulan pada ajang pemilihan Transmigran Teladan 2011, Owo berhasil menempati peringkat 1.
Prestasi Owo ini tentu memberi kebanggaan bagi warga dan Pemerintah Kabupaten Ciamis khususnyaan serta Jawa Barat umumnya. Kerja keras, kesungguhan, dan ketekunan Owo juga bisa memberi inspirasi bagi warga Ciamis dan Jawa Barat untuk meraih keberhasilan meski tidak di kota kelahirannya.
Jutawan transmigran lainnya adalah Sunarto yang terpilih sebagai peringkat dua Transmigran Teladan 2011. Pria asal Yogyakarta yang bertransmigrasi ke UPT Senggi, Keerom, Papua, bahkan mempunyai pendapatan lebih besar, yakni Rp 422,995 juta atau Rp 35,2 juta per bulan. 
Sedangkan, jutawan lainnya dari tanah transmigrasi adalah Muslimin yang meraih predikat juara ketiga Transmigran Teladan 2011. Pria asal Desa Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah ini, menempati UPT XVII Kepala Gurung, Kec. Mentebah, Kab. Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Penhasilan Muslimin adalah Rp 109,2 juta per tahun atau Rp 9,1 juta per bulan.
Di luar ajang pemilihan Transmigran Teladan, sesungguhnya lebih banyak lagi transmigran yang berhasil. Tolok ukurnya terutama dilihat dari kemampuan ekonomi baik bagi kepenrtngannya dirinya, juga bagi masyarakat yang ada di sekitarnya.
Seperti Sugiyanto (62), tinggal ongkang-ongkang kaki menikmati hari tuanya di Desa Sausu Trans, Kabupaten Parigi Moutong, 130 km dari Palu ke arah Poso, Sulawesi Tengah. Untuk membiayai hidup bersama Suwarsi, istrinya, Sugi mengandalkan 3.000 pohon coklat di kebunnya seluas tiga hektare yang ada di belakang rumahnya yang asri di pinggir Jalan Raya Trans Sulawesi.
Di sela tanaman coklat ada pohon kelapa dan salak pondoh. Ada juga pohon durian, pete, nangka, dan tanaman lainya. Di kebunnya juga dibudidayakan lebah untuk diambil madunya. "Lima tahun 
pertama sebagai transmigran memang berat," kata pria asal Desa Kenteng, Nanggulan, Kabupaten Kulonprogo, D.I. Yogyakarta ini.
Diceritakan, dari 197 keluarga asal Jateng dan DIY yang menempati permukiman baru itu, banyak yang memilih kembali ke desa asalnya. Sugi tetap berusaha untuk bertahan di tanah baru dan untuk sementara tidak kembali ke desanya di Pulau Jawa, sebelum meraih sukses.
Dengan kesungguhan dan kesabaran, Sugi akhirnya bisa memanen buah coklat minimal 600 kg yang kemudian dibeli pedagang seharga Rp 14.000 dan bahkan pernah mencapai Rp 20.000 per kg. Dalam sebulan, penghasilan Sugi dari coklat tidak kurang dari Rp 16,8 juta. 
Banyaknya kisah sukses dari para transmigran juga mendorong Amir Sohib (33) untuk berangkat dari desanya di Purworejo, Jawa Tengah sebagai transmigra. Ia bersama Jumiati (24) dan kedua anaknya sudah 1,5 tahun terus berupaya survive di UPT Puncak, Kecamatan Ulubalak, Kabupaten Gorontalo.
Amir, santri lulusan Pondok Pesantren Kyai Thoyfur Maron ini kini memelihara 14 ekor kambing dan menggarap lahan usaha yang ditanami coklat dan kopi. Untuk menambah penghasilan, istrinya dibukakan warung kelontong di rumahnya. Lahan pekarangannya ditanami berbagai tanaman seperti jagung, terong, cabe, dan pare. Beberapa varietas dari Jawa seperti terong ungu, sawi, juga ditanam.
Amir tinggal di rumah permanen yang terbuat dari batako dengan dua kamar dan berjamban. Inilah kelebihan transmigran di UPT Puncak, Gorontalo, yang dibangunkan rumah tipe 21 standar. Padahal, transmigran hanya menempati rumah panggung atau semi permanen. 
Amir diberi modal awal lahan usaha seluas 1,5 hektare dan bantuan input pertanian seperti bibit, pupuk, pestisida, peralatan pasca panen, dan lain-lain. "Ini pilihan hidup yang harus diperjuangkan," ujarnya katanya saat ditemui "PR" di rumahnya, belum lama ini.
Amir, selama menunggu panen, mengisi waktunya dengan bekerja sebagai buruh di projek pembangunan. Istrinya, dibukakan toko kelontong di rumahnya untuk sekadar t-tambah penghasilan. Ia berharap tiga tahun mendatang sudah bisa memanen hasil kebunnya. "Kuncinya harus sabar dan sabar," tutur Amir yang bercita-cita membangun ekonomi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. 

Sumber : Pikiran Rakyat, Minggu, 02/10/2011 - 16:37